Sunday, November 15, 2009

Harga Tiket Masuk Objek Wisata, Kenapa Harus berbeda Untuk Wisman dan Wisdom?

Beberapa waktu yang lalu saya kebetulan kedatangan tamu dari UK, Kevin, begitulah namanya. Kami melakukan kunjungan ke beberapa Kantor Cabang kami utk melihat aktivitas penjualan dan melakukan interview dengan Branch Manager. Kebetulan daerah yang kami datangi adalah Jogja dan Magelang. Sebelum kami berangkat ke Magelang saya sudah bercerita ke Kevin bahwa di Magelang ada Candi Budha terbesar di Indonesia dan menjadi salah satu World Culture Heritage dari UNESCO.
Ketika kami selesai melakukan observasi dan interview dg Branch Manager di Cabang Magelang, walaupun waktu terbatas, kami menyempatkan diri mampir ke Borobudur. Saya masih bersemangat utk bercerita bahwa di sekeliling dinding terdapat relief yang menceritakan perjalanan sang Budha Gautama, termasuk mitos kalo kita bisa menyentuh tangan patung budha di salah satu stupa di ujung timur candi.
Begitu sampai di depan loket, karena sepi dengan pedenya Kevin dan teman saya satunya kita minta masuk duluan dan saya masih mengurus tiketnya. Sama petugasjaga hal tersebut memang diperbolehkan.
Namun saya terkejut ketika saya membayar tiket, petugas loket menyampaikan bahwa loket untuk Orang Asing ada di sebelah kiri dengan harga Rp 125.000. Harga ini sepuluh kali lipat dari harga tiket untuk wisatawan kelas 2 alias wisatawan domestik.
Saya sempat geleng geleng kepala, mengapa objek wisata menerapkan harga yang berbeda konsumen yang berbeda, padahal produk dan benefit yang dirasakan oleh wisatawan asing dan wisatawan domestik sama.
Hal ini juga saya temui di beberapa tempat wisata lainnya seperti di Bali dan di Jogja, tiket masuk objek wisata atau bahkan makanan di cafe dibedakan harganya utk wisatawan asing (bule) dg wisatawan domestik.

Jika hal tersebut dikembalikan kepada konsep pricing dalam marketing, maka ada sesuatu yang keliru.
1. Konsep dasar pricing dari perspektif konsumen adalah value. Dimana value adalah total get (functional benefit + emotional benefit) dibagi dg total give (cost + other expense). Jadi konsumen akan melihat sebuah harga dengan mengukur value dari produk tersebut. Dalam case harga tiket yangg sangat berbeda untuk wisman dan wisdom tersebut, maka wisman akan bertanya "apa benefit tambahan yang saya peroleh dengan membayar 10 kali lipat?". Apakah wisman akan mendapatkan fasilitas tambahan berupa shuttle khusus dr pintu masuk ke dalam komplek? Apakah wisman akan dipandu secara gratis oleh tour guide? Apakah wisman akan diberikan payung khusus agar terhindar dari panas? . Jika jawaban dari berbagai pertanyaan tersebut lebih banyak "tidak", maka pemberlakuan harga berbeda untuk wisman tersebut sudah saatnya untuk dihentikan.

2. Price seharusnya dibedakan berdasarkan perbedaan produknya, bukan perbedaan konsumen. Karena jika perbedaan harga didasarkan pada konsumen, maka hal ini menyalahi prinsip dasar dari Marketing. Dalam marketing, produk, price, place dan promotion didesain setelah Segmentasi, Targeting dan Positioningnya ada. Jadi utk produk yang sama dan dijual dalam channel yg sama tidak mungkin harganya berbeda karena pembelinya berbeda. Contoh jika kita pergi ke supermarket tiba2 mendapati Shampoo Clear diberi bandrol harga Rp 16 ribu (Utk laki2) dan Rp 8 ribu (utk Perempuan) atau Keju Kraft Rp 10) (utk bule) Rp 5 Ribu (utk WNI). Pasti kalau kita laki2 dan akan membeli produk Clear akan menyamar dulu jadi bencong utk mendapatkan separuh harga tersebut, atau menyuruh istri kita untuk membeli.

3. Pembedaan harga produk dan service yg sama, namun karena konsumen berbeda akan sangat membingungkan dan menyulitkan dalam mengontrol harga. Seperti yg saya sampaikan di atas, jika tyt pembeli shampoo clear adalah pria yg menyamar jadi wanita apakah bisa diketahui? Apakah diperlukan KTP pada saat kita akan membayar? Atau jika kita ambil case Borobudur tadi jika bulenya org Suriname yg berbahasa jawa dan bertampang Indonesia apakah akan bisa dideteksi?

Intinya adalah bahwa pricing strategi harus mengacu pada konsep value. Value produk yg sama sebenarnya bisa dirasakan jika dikemas dg cara yg berbeda, bukan karena konsumennya berbeda. Semoga pengelola objek wisata segera bertobat.....