Thursday, March 11, 2010

Iklan Edukasi Perbankan : Advertising atau Public Relations?

Jika akhir-akhir ini kita sering melihat tayangan TV Commercial 60 detik dari salah satu bank BUMN yang mengiklankan produk tabungan dan kartu kreditnya dengan gaya bertutur seorang praktisi perbankan mengenai tips bertransaksi dengan aman menggunakan ATM dan Kartu Kredit, pasti kita akan bertanya-tanya apa tujuan iklan ini. Karena kalo kita sekilas melihat iklan ini seolah-olah adalah PSA (Public Service Advertising), karena di dalamnya menghadirkan seorang praktisi perbankan yang memberikan edukasi mengenai tata cara menghindari kejahatan dari penggunaan produk ATM serta cara bijak memanfaatkan kartu kredit. Namun setelah saya perhatikan ternyata praktisi perbankan tersebut berasal dari bank yang memiliki produk yang diiklankan tersebut.

Jika dilihat dari format dan media yg digunakan TVC ini lebih pantas kita sebut sebagai advertising, tetapi ketika melihat konteks dan konten dari TVC kita akan mempercayainya sebagai Public Relations activity dalam bentuk PSA.

Mungkin inilah bentuk baru tvc, yang mencoba meraih kredibilitas (yang selama ini hanya dimiliki oleh PR - Kata Al Ries dalam bukunya the Fall of Advertising and the rise of PR) dengan menggunakan media dan format Advertising (menggunakan media Above The Line dalam format 60 second tv commercial). Gabungan kedua hal tersebut -Advertising rasa PR- diharapkan dapat mengerek brand semakin ke puncak, karena disamping credible dari sisi konten, juga sangat broadcast dari segi jangkauan, sehingga efektivitasnya akan semakin tinggi.

Selain itu jika dilihat dari momen, keluarnya iklan tersebut sangat tepat di tengah-tengah maraknya kejahatan pembobolan ATM dan Kartu Kredit yang dilakukan oleh sindikat dari luar negeri. Sehingga kredibilitas iklan ini akan sangat dirasakan oleh masyarakat.

Namun yang perlu diperhatikan untuk mempertahankan kredibilitas dari iklan tersebut ada beberapa catatan yang mungkin perlu diperhatikan :

1. Penggunaan praktisi keuangan. Praktisi keuangan maupun perbankan seharusnya adalah praktisi yg independent dan bukan merupakan orang dalam dari pemilik brand tersebut. Sebab jika diketahui khalayak, penggunaan ambasador yang ternyata "orang dalam" bisa mengurangi kredibilitas dari TVC tersebut dan akan divonis sebagai kamuflase advertising. Bisa saja kita menggunakan ambasador adalah orang yang independent dan memang kompeten di dunia perbankan, seperti Sigit Pramono (Perbanas), atau Rudjito (LPS).

2. Format edukasi. Edukasi yang disampaikan seharusnya benar-benar bertujuan untuk membantu masyarakat dalam menjaga keamanan transaksi melalui e-banking, tanpa embel-embel advertising. Untuk membantu melakukan aktivitas PR kemudian di akhir tvc ditutup dengan "Seri Edukasi Perbankan ini Dipersembahkan oleh : Bla..bla..bla..".

3. Penggunaan media lain yang dilakukan secara komprehensif seperti print ad atau radio ad akan sangat membantu meningkatkan eksposur dari brand ataupun corporatenya.

Namun terlepas dari kelemahan tersebut, kita patut memberikan apresiasi pada keberanian bank BUMN tersebut dalam merubah format TVC menjadi Advertising rasa Public Relations...