Akhir-akhir ini topik yang terkait dengan gadget yang lagi hangat dibicarakan adalah BBM yang akan dilepas ke iOS dan android, selain hiruk pikuk munculnya versi murah iPhone 5.
Mengapa Blackberry sampai harus melepaskan eksklusifitas BBM mereka? Mengapa mereka rela melepas anak emas nya ke orang lain? Jawabannya tentunya hanya eksekutif RIM yang tau.
Namun jika dilihat dari trend penjualan perangkat Blackberry di dunia yang terus turun drastis dari tahun ke tahun (sebelumnya Blackberry menguasai 23 % pasar smart phone dunia di tahun 2010, kemudian turun drastis di akhir 2011 tinggal 6% - ponselexpert.wordpress.com) terlihat bahwa RIM melakukan spekulasi daripada mati, lebih baik bertahan hidup dengan penguasaan pasar secukupnya daripada mati sama sekali.
Dengan melepas BBM (salah satu platform chating yg sudah sangat mendunia) diharapkan RIM masih memperoleh revenue jika seandainya penjualan perangkat Blackberry sudah berhenti. Kedua adalah RIM mencoba utk melakukan turn around dengan mengubah fokus dari penyedia perangkat ke content provider. Ketiga mungkin juga mereka mencoba utk bersaing bebas dengan platform chating lainnya yang lintas sistem operasi, seperti Line, What apps, We chat, Kakao Talk dll.
Namun jika dilihat dari sisi pemasaran, apa yg dilakukan RIM melepas BBM ke iOS dan Android lebih kepada mengambil pelajaran dari Polaroid.
Di era tahun 80an siapa yg tidak kenal dg Polaroid? Siapapun yg pernah difoto pasti pake polaroid. Di Objek wisata dimanapun di Indonesia pasti terpampang tulisan polaroid, dan banyak tukang foto instan yg menenteng kamera polaroid. Keunggulan saat itu dari polaroid adalah teknologi foto instan, foto langsung jadi, tanpa film seluloid. Selain praktis, keunggulannya adalah hasil foto langsung bisa dilihat. Saat itu hanya polaroid yang menguasai teknologi tersebut, dan tidak ada pesaing yg boleh mengadopsi teknologi tersebut karena telah dipatentkan oleh Polaroid. Sehingga saat itu terjadi monopoli terhadap teknologi cetak instan yg hanya dimiliki oleh Polaroid.
Namun perkembangan teknologi menjadikan pesaing berfikir keras untuk menciptakan teknologi yang bisa menandingi cetak instan polaroid, dan ternyata lahirlah foto digital menggantikan teknologi cetak kamar gelap. Sedangkan polaroid sendiri karena merasa memiliki hak monopoli terhadap teknologi cetak instan dan merasa nyaman tidak berusaha utk berinovasi. Selain itu kelemahan monopoli teknologi cetak instan oleh polaroid mengakibatkan tidak adanya pesaing yang membantu membesarkan pasar dan membantu menciptakan inovasi baru dari teknologi tersebut. Dengan kondisi tersebut, pasar yg eksklusif dan minim inovasi di kategori cetak instan, muncullah pesaing yang menjadi killer apps, digital photography. Inilah pembunuh Polaroid saat itu, sehingga sekarang jika kita bertanya kepada generasi saat ini hanya segelintir orang yang mengetahui polaroid. Polaroid sendiri sudah mati.
Pelajaran berharga inilah yang sepertinya diambil oleh Blackberry. Mereka tidak mau menjadi Polaroid jilid 2, perkasa ketika mempertahankan eksklusifitas mereka, namun tidak ada yang membantu membesarkan pangsa pasar dan justru banyak pesaing yang akan membunuh dan menjadi killer apps, yang akibatnya mematikan mereka sendiri.
Blackberry sadar ketika platform chating lainnya mulai populer (what's apps, line, kakao talk, we chat) dan semuanya lintas platform OS, maka berarti mereka adalah killer apps BBM, jika BBM tetap defensif, dg jumlah "musuh" yg lebih banyak maka BBM akan terbunuh. Terbunuhnya BBM pastinya akan membunuh smart phone Blackberry.
Dengan membuka eksklusifitas BBM, maka diharapkan BBM tidak mati dan perangkat Blackberry masih bisa hidup juga. Upaya ini sepertinya menjadi senjata terakhir RIM utk bersaing di industri smart phone yang sangat ketat dan crowded.
No comments:
Post a Comment