Baru saja Interbrand merilis "100 Best Global Brand". Dari 100 merek dengan brand value terbesar, hampir semuanya dikenal di Indonesia dan sebagian besar berasal dari US. Beberapa merek asia yang masuk ke dalam daftar 100 Best Global Brand tersebut antara lain Toyota (Jepang), Samsung (Korea), htc (Taiwan). Adakah merek dari Indonesia? Jawabannya tidak.
Tapi apakah orang Indonesia mengenal atau bahkan menggunakan/mengkonsumsi merek-merek tersebut? Jawabannya pasti "ya". Dan saya yakin hampir 80 persen orang Indonesia pernah minum "Coca Cola", 80 persen pengguna laptop/pc pasti mengenal "Microsoft" dan 80 persen org kantoran pasti tahu dan pernah menggunakan "IBM", dan 80 persen anak-anak di Indonesia kenal dan bahkan pernah mencicipi ayam goreng atau burger di "Mc Donald's", dan siapakah yg sekarang ini tidak mengenal "Blackberry"?
Sederetan merek yang saya sebutkan tersebut adalah sedikit dari seratus merek yang menurut Interbrand memiliki brand value terbesar, yang dalam pendekatan akutansi terbaru merupakan intangible asset yang bisa dinominalkan dalam bentuk dollar.
Adakah merek Indonesia disana? Jawabannya pasti tidak. Tidak ada satu pun merek dari Indonesia yang masuk ke dalam
100 Best Global Brand. Padahal jika dilihat dari jumlah penduduk, ketersediaan Sumber Daya Alam dan diversitas budaya, bangsa Indonesia sangatlah kaya. Namun kenapa kita tidak mampu bersaing untuk paling tidak memunculkan 1 brand lokal Indonesia yang mendunia?
Bangsa kita memang lebih cocok untuk kita sebut bangsa konsumen yang hedonis dan lebih bangga jika tercatat sebagai pemilik koleksi terbaru mobil mewah, 5 pemakai pesawat jet pribadi, dll. Dan kita tidak menyadari bahwa jumlah penduduk kita yang sangat besar adalah merupakan pasar yang sangat gurih dan empuk bagi merek2 global untuk mendapatkan market penetration tertinggi.
Marilah kita ingat 2 sd 3 tahun silam, bagaimana market share nokia dan penjualan nokia di Indonesia adalah yg tertinggi di seluruh dunia, pabrikan otomotif Yamaha merajai penjualan sepeda motor di Indonesia dan tertinggi di dunia dan dengan sangat antusias memasang tulisan "semakin di depan" di baju pembalap moto gp Jorge Lorenzo (yang akhirnya ditiru juga oleh pabrikan Honda untuk mencantumkan satu hati di baju pembalap honda), bagaimana MU pada tahun 2008 sangat bersemangat untuk bisa datang dan bermain di Indonesia sekedar menyapa fans MU terbesar di dunia, lihat bagaimana setiap pengguna telepon selular selalu menanyakan "Pinmu berapa?" Bukan lagi bertanya no hp, sebagaiamana cerminan bahwa semua kalangan sudah menggunakan Blackberry. Lihat juga mulai dari direktur sampai dengan cleaning service pasti punya account "Facebook".
Kita terlena bahwa kita selalu merasa bangga menjadi "pengguna nokia terbesar di dunia", "jumlah subscriber Facebook nomor 3 terbesar di dunia", "penjualan Yamaha paling tinggi di dunia", "pengguna Blackberry terbesar sejagad" dan lain sebagainya. Kita juga bisa menyaksikan betapa bangganya orang-orang kaya di republik ini ketika mereka menenteng tas Louis Vuitton, Hermes atau mengenakan aksesoris Bvlgari. Butik butik barang mewah dengan merek terkenal tidak pernah sepi dan terus menambah gerai nya di mall2 kota besar di Indonesia.
Tapi kita lupa bahwa kita harusnya lebih bangga jika seandainya "CN 235 produksi IPTN dipesan Emirates sejumlah 300 unit", "Mobil Timor menguasai pasar otomotif di Amerika di urutan ke-2 setelah GM", "Sepatu Cibaduyut buka outlet ke-5 nya di Milan", "Batik Keris membuka gerai ke-2nya di Harrods London", "Bakpia Pathok 25 bangun pabrik ketiganya di Abu Dhabi", dll
Ya, memang bangsa kita masih sebatas bangga sebagai konsumen, bangga sebagai pangsa pasar terbesar, bangga sebagai pengguna terbesar tetapi belum bangga untuk menjadi pemilik merek dengan value terbesar. Ini juga seiring dengan komposisi PDB kita yang masih didominasi sektor Konsumsi, sehingga pertumbuhan ekonomi kita masih belum bisa menyerap tenaga kerja yang optimal.
Rasa lebih bangga menggunakan brand asing dan malu menggunakan brand lokal inilah salah satu yang akhirnya menyebabkab merek-merek lokal kita tidak bisa berkembang.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh bangsa ini untuk mendukung korporasi dalam mengembangkan merek/brand lokal?
1. Jadilah pemain di negeri sendiri, jangan lah kita hanya jadi penonton dengan cara mencintai dan menggunakan produk kita.
2. Kurangi ketergantungan kita dengan barang barang merek global.
3. Menyadari bahwa Indonesia adalah pasar yg luar biasa utk produk-produk kita sendiri, sehingga harus optimal dalam menggarap pasar ini.
4. Dari sisi produsen diharapkan mampu menciptakan inovasi inovasi baru dan menciptakan produk yang benar2 unggul dan berkualitas sehingga mampu bersaing.
Sekelumit tulisan di atas hanyalah sebuah cerminan bahwa untuk membangun sebuah merek harus dimulai dari mental sebagai produsen dan innovator bukan mental sebagai konsumen yang hedonis. Jika kita mulai bermental inovator dan sadar bahwa menjadi sasaran pasar bagi merek2 global saja tidak cukup, maka merek merek dari Indonesia niscaya bisa menembus persaingan global. Amien.
2 comments:
mungkin Bapak lupa brand lokal seperti Es Teler 77, Ayam Bakar Wong Solo, Bakmi GM, Bakso Lapangan Tembak dan lainnya yang mulai ada di beberapa negara walaupun masih tingkat Asia..bahkan Pertamina pun sudah mempunyai outlet di Australia lho Pak!Menurut saya para pengusaha kita kurang menyadari arti penting sebuah brand bagi bisnis mereka sendiri..mereka sudah bangga jika produk mereka hanya sebatas dikonsumsi di luar negeri saja..tapi tidak menyadari bahwa brand mereka pun bisa bersaing dan menjadi pemenang di sana..jika melihat trend sekarang Pak, sudah mulai banyak kecenderungan pebisnis lokal dikelola dengan cara waralaba..saya tidak tahu apakah sistem ini menjadi solusi bagi sebuah brand untuk menjadi global brand..tapi saya melihat setidaknya hal tersebut telah membantu mengenalkan brand mereka ke dunia..sebagai catatan saya sangat gemas ketika melihat brand dari negara tetangga kita menjadi sponsor utama tim F1 yang notabene dulu belajarnya dari perusahaan kita Pak... :(
Betul mas, beberapa merek Indonesia memang sudah "mendunia", yang arti sempitnya adalah dikonsumsi oleh bule dan punya outlet di luar negeri, tapi sepertinya baru sekedar dikenal produknya tetapi roh dari produk tersebut yaitu brand nya belum mencapai tahap mentransformasi penggunanya. Jadi brand valuenya masih sangat kecil dan belum mampu menembus "100 Best Global Brand". Perlu usaha yang lebih keras dari bangsa kita dan perlu sinergi yang kuat antara pemerintah, rakyat maupun korporasi. Jadi tanggung jawab untuk mengembangkan brand saya rasa tidak hanya menjadi milik korporasi, karena brand produk bisa meningkatkan brand negara.
Post a Comment