Sunday, November 15, 2009

Harga Tiket Masuk Objek Wisata, Kenapa Harus berbeda Untuk Wisman dan Wisdom?

Beberapa waktu yang lalu saya kebetulan kedatangan tamu dari UK, Kevin, begitulah namanya. Kami melakukan kunjungan ke beberapa Kantor Cabang kami utk melihat aktivitas penjualan dan melakukan interview dengan Branch Manager. Kebetulan daerah yang kami datangi adalah Jogja dan Magelang. Sebelum kami berangkat ke Magelang saya sudah bercerita ke Kevin bahwa di Magelang ada Candi Budha terbesar di Indonesia dan menjadi salah satu World Culture Heritage dari UNESCO.
Ketika kami selesai melakukan observasi dan interview dg Branch Manager di Cabang Magelang, walaupun waktu terbatas, kami menyempatkan diri mampir ke Borobudur. Saya masih bersemangat utk bercerita bahwa di sekeliling dinding terdapat relief yang menceritakan perjalanan sang Budha Gautama, termasuk mitos kalo kita bisa menyentuh tangan patung budha di salah satu stupa di ujung timur candi.
Begitu sampai di depan loket, karena sepi dengan pedenya Kevin dan teman saya satunya kita minta masuk duluan dan saya masih mengurus tiketnya. Sama petugasjaga hal tersebut memang diperbolehkan.
Namun saya terkejut ketika saya membayar tiket, petugas loket menyampaikan bahwa loket untuk Orang Asing ada di sebelah kiri dengan harga Rp 125.000. Harga ini sepuluh kali lipat dari harga tiket untuk wisatawan kelas 2 alias wisatawan domestik.
Saya sempat geleng geleng kepala, mengapa objek wisata menerapkan harga yang berbeda konsumen yang berbeda, padahal produk dan benefit yang dirasakan oleh wisatawan asing dan wisatawan domestik sama.
Hal ini juga saya temui di beberapa tempat wisata lainnya seperti di Bali dan di Jogja, tiket masuk objek wisata atau bahkan makanan di cafe dibedakan harganya utk wisatawan asing (bule) dg wisatawan domestik.

Jika hal tersebut dikembalikan kepada konsep pricing dalam marketing, maka ada sesuatu yang keliru.
1. Konsep dasar pricing dari perspektif konsumen adalah value. Dimana value adalah total get (functional benefit + emotional benefit) dibagi dg total give (cost + other expense). Jadi konsumen akan melihat sebuah harga dengan mengukur value dari produk tersebut. Dalam case harga tiket yangg sangat berbeda untuk wisman dan wisdom tersebut, maka wisman akan bertanya "apa benefit tambahan yang saya peroleh dengan membayar 10 kali lipat?". Apakah wisman akan mendapatkan fasilitas tambahan berupa shuttle khusus dr pintu masuk ke dalam komplek? Apakah wisman akan dipandu secara gratis oleh tour guide? Apakah wisman akan diberikan payung khusus agar terhindar dari panas? . Jika jawaban dari berbagai pertanyaan tersebut lebih banyak "tidak", maka pemberlakuan harga berbeda untuk wisman tersebut sudah saatnya untuk dihentikan.

2. Price seharusnya dibedakan berdasarkan perbedaan produknya, bukan perbedaan konsumen. Karena jika perbedaan harga didasarkan pada konsumen, maka hal ini menyalahi prinsip dasar dari Marketing. Dalam marketing, produk, price, place dan promotion didesain setelah Segmentasi, Targeting dan Positioningnya ada. Jadi utk produk yang sama dan dijual dalam channel yg sama tidak mungkin harganya berbeda karena pembelinya berbeda. Contoh jika kita pergi ke supermarket tiba2 mendapati Shampoo Clear diberi bandrol harga Rp 16 ribu (Utk laki2) dan Rp 8 ribu (utk Perempuan) atau Keju Kraft Rp 10) (utk bule) Rp 5 Ribu (utk WNI). Pasti kalau kita laki2 dan akan membeli produk Clear akan menyamar dulu jadi bencong utk mendapatkan separuh harga tersebut, atau menyuruh istri kita untuk membeli.

3. Pembedaan harga produk dan service yg sama, namun karena konsumen berbeda akan sangat membingungkan dan menyulitkan dalam mengontrol harga. Seperti yg saya sampaikan di atas, jika tyt pembeli shampoo clear adalah pria yg menyamar jadi wanita apakah bisa diketahui? Apakah diperlukan KTP pada saat kita akan membayar? Atau jika kita ambil case Borobudur tadi jika bulenya org Suriname yg berbahasa jawa dan bertampang Indonesia apakah akan bisa dideteksi?

Intinya adalah bahwa pricing strategi harus mengacu pada konsep value. Value produk yg sama sebenarnya bisa dirasakan jika dikemas dg cara yg berbeda, bukan karena konsumennya berbeda. Semoga pengelola objek wisata segera bertobat.....

Friday, October 23, 2009

Nasi Kucing di Star Mart : Membidik Price Oriented atau Experience Seeker

Siang kemarin ketika saya menjalankan rutinitas di tengah hari, mencari pengisi perut, saya melihat sebuah tulisan yang tertempel di pintu kaca star mart - convenience store di belakang kantor yang masih satu kompleks dg gedung tempat saya bekerja- yg berbunyi 'Nasi Murah Rp 3.000,-. Kebetulan siang itu saya makan mendampingi bos (bahasa halus utk ditraktir) dan setelah makan siang boss saya masuk ke star mart utk membeli sesuatu, maka keingin tahuan saya tentang nasi murah tersebut saya tanyakan ke kasir. 
Dan saya lumayan terkejut ternyata nasi murah tersebut sama dengan nasi kucing di warung angkringan di Jogja atau Solo. Dengan kemasan yang agak berbeda dibentuk menjadi semacam kerucut, tetapi contentnya sama yaitu nasi dg sambal, tempe kering dan sedikit suwiran daging, dan porsi yg cukup 'sekali hap'. Kemudian saya lanjutkan bertanya dari mana nasi kucing tersebut, ternyata ada supplier yg nitip jualan di situ. Sesuatu yang cukup aneh dan banyak menimbulkan pertanyaan lainnya, seperti kepada siapa sebenarnya target penjuaalan nasi kucing di lokasi yg terletak di komplek perkantoran yang nota bene sebagian besar adalah karyawan. 
Apakah nasi kucing ini ditujukan kepada segment 'price oriented' atau segmen 'experience seeker'.
Jika membidik target segmen price oriented - yang hanya mencari harga murah- maka pemilihan lokasi yang berada di kompleks perkantoran dan dijual di convinience store saya rasa tidak sesuai, karena Pertama : Orang-orang yang bekerja di sekitar lokasi kemungkinan besar adalah bukan segmen price oriented tetapi value oriented - yg melakukan pembelian berdasar perhitungan total give (price +other expense) dan total get (functional benefit + emotional benefit). Karena di sekitar lokasi tersedia tempat makan dg harga yg 'tidak murah' namun tetap laris.
Kedua jika dilihat dari ukuran segmen price oriented di sekitar lokasi pasti ukurannya sangat kecil karena jika ada segmen price oriented kemungkinan besar berasal dari OB, cleaning service dan lower level lainnya atau tukang ojek di sekitar lokasi. Namun jika dilihat lokasi star mart juga tidak jauh dari pasa traditional yg menyediakan beraneka ragam pilihan makanan dan kebutuhan lainnya, dan segmen price oriented pastinya lebih memilih berbelanja ke pasar. Karena harga kebutuhan maupun harga nasi kucing di pasar pasti lebih murah.
Ketiga, Jika star mart mengadopsi konsep cross merchandising/cross selling maka sekali lagi segmen yg dibidik berbeda dg segmen produk yg dijual star mart. Produk nasi kucing membidik segmen price seeker, produk star mart membidik segmen value oriented. Maka strategi ini justru membingungkan customer.

Jika star mart membidik segmen experience seeker, maka ada satu hal yang harus menjadi pertimbangan, yaitu sebagai sebuah produk yg termasuk experience provider, nasi kucing akan lebih pas jika dijual dengan konsep angkringan dan dinikmati bersama the jahe anget, ditemani gorengan yg dibakar. Menyediakan nasi kucing dg how to offer yg ada di star mart tidak sejalan dengan konsep experience provider.

 Jadi sebenarnya nasi kucing murah di star mart ditujukan buat siapa??? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Monday, October 05, 2009

Warung Klangenan : Memorable Experience Provider

Mudik lebaran, mudik tahun baru atau musim liburan, saatnya omset warung makan atau restoran klangenan meningkat. Mudik atau liburan tidak bisa lepas dari kebiasaan wisata kuliner, dan wisata kuliner selalu dilakukan di tempat-tempat yang nggak biasa, warung bakmi dengan antrian lebih dari 2 jam, makan soto sambil tergesa-gesa karena ditungguin pelanggan berikutnya, makan bestik di warung kaki lima dengan tenda yang sudah lusuh di pinggir jalan di atas got, antri makan mie dengan sambutan sapaan galak dari penjualnya.
Menarik mencermati fenomena warung klangenan, karena pemiliknya sepertinya tidak melakukan konsep marketing utk memasarkan produknya, tetapi mereka tetap exist dan long lasting. Warung makan klangenan sebagian besar malah justru tidak berinovasi dan mempertahankan keasliannya kalau tidak mau dibilang kekunoannya.Ya mungkin cocok untuk warung yg positioningnya klangenan.Karena dengan inovasi justru kadang pelanggan malah pergi. Ambil contoh Mie Kadin di Jogja. Selama ini kalo orang akan menikmati mie jawa experience utamanya adalah menunggu antrian yang bisa mencapai 20 s/d 30 orang. Karena setiap porsi dimasak sangat customized dan hanya memakai 1 buah anglo dengan koki 1 orangg. Mie Kadin merubah konsep pelayanan mie jawanya dengan menambah jumlah tungku dan koki dengan harapan mempercepat proses sehingga mengurangi antrian, mengadopsi konsep fast food yang 'lebih cepat lebih baik'.
Tapi perubahan operasional bakmi kadin justru menimbulkan keraguan dari pelanggan. Pelanggan mulai bertanya pasti rasanya berubah, karena kokinya bukan yang dulu atau racikannya berbeda.Ya jika melihat case dari bakmi kadin, sebenarnya orang ingin menikmati bakmi jawa yang customized adalah ingin membeli 'antrian' yang lama, ingin membeli suasana menunggu mie dimasak dalam anglo dengan kipas tradisional, ingin menikmati teh atau jeruk yg dipesan panas tapi diminum sudah dingin dsb. Sehingga warung-warung klangenan mencoba mempertahankan keasliannya. Harjo bestik yang tetap warung kaki lima dengan tenda kumuh di pinggir jalan Dr Rajiman Solo, Bakmi Jombor Jogja yang penjualnya tetep galak, Soto Gading Solo yang hanya jual soto ayam saja.
Selain karena mempertahankan keasliannya, mengapa warung2 ini tetap ramai dan banyak dicari walaupun tidak ada aktivitas marketing communicationnya?
1. Warung klangenan menawarkan experience yang tidak bisa dibeli di tempat lain, dan bagi sebagian orang makan di warung klangenan adalah seperti napak tilas memori jaman susah, memori masa indah kuliah, memori masa indah di kampung halaman dan berbagai macam alasan memorable experience lainnya yang mengajak kita untuk terus dan terus menikmati warung klangenan.
2. Kekuatan dari Word of Mouth sangat besar. Sebagian besar penikmat warung klangenan mengetahui tempat wisata kuliner berdasar referensi dr teman atau saudara.
3. Warung klangenan memiliki nilai berita yang tinggi sehingga aktivitas Public Relation dilakukan secara sukarela oleh media. Buku dan majalah yang mengulas mengenai warung klangenan cukup banyak beredar, dan mereka tidak dibayar untuk menampilkan liputan mengenai warung klangenan. Karena buku dan majalah tersebut akan laris terjual dengan sendirinya.
4. Warung Klangenan memiliki keunikan masing-masing. Paku sebagai pengganti lidi untuk pembungkus mie di Bakmi P Rebo Jogja, Sate dengan tusuk dari Jeruji sepeda di Sate Klathak Imogiri, Orkes Kroncong di Bakmi Kadin dan SGPC Bu Wiryo, open air cafe di Cak Koting Jogja., Blusukan di Kampung untuk menikmati sepiring bakmi di Bakmi Mbah Mo Bantul, Soup bayem di SGPC Bu Wiryo, Makan gudeg dini hari dengan deru truk di dekat tempat duduk di Gudeg Ceker Solo, Kopi dengan celupan bara arang di Angkringan Lik Man Jogja.
5. Yang terakhir produknya memang berkualitas, meminjam istilah Butet Kertarejasa, rasa makanannya memang "cerdas", sehingga offering utama ini tidak sekedar dikemas dengan experience, tetapi produk memberikan experience tersendiri dari segi rasanya.

Kesimpulannya bahwa warung klangenan memang harus tetap menampilkan keasliannya tanpa merubahnya dg konsep inovasi, karena alasan utama pengunjung selain menikmati cita rasa yang "cerdas", experience menjadi faktor utama dalam memilih warung klangenan.
Selamat berwisata kuliner.....

Lebih Cepat Lebih Baik 1

Hari Jumat 1 Mei 2009 pukul 19.00 wib ada berita yang cukup menyita perhatian pemirsa TV di tanah air. Selain berita heboh keterlibatan Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan Direktur Utama PT PRB, berita yang lebih heboh adalah pencalonan JK Wiranto menjadi Capres dan Cawapres dari koalisi besar. Jika beberapa jam sebelumnya koalisi besar mendeklarasikan kerjasama/koalisi diparlemen, maka pada pukul 19.00 JK dan Wiranto mendekalrasikan pencalonannya sebagai capres dan cawapres.Pasangan JK WIN adalah pasangan capres dan cawapres resmi yang pertama kali diumumkan ke publik. Partai Demokrat yang dari awal telah menetapkan kriteria calwapresnya pun sampai dengan saat ini belum mendeklarasikan capres dan cawapresnya. Luar biasa berani JK mendekalrasikan carpes dan cawapres ini, karena kalo dilihat dari hasil survey elektabilitas dan popularitas kedua tokoh ini masih sangat jauh di bawah SBY. Tetapi kenapa JK"nekat" mendahului pesaing-peaingnya? Jika dilihat dari perspektif komunikasi, JK WIN sepertinya ingin mengambil momentum dan menyelaraskan positioning yang selama kampanye pileg selalu didengungkan, Lebih Cepat, Lebih Baik.Positioning ini ingin diperkuat oleh JK sehingga diharapkan citra JK sebagai pemimpin yang lebih cepat dan lebih baik semakin meingkat. Hal ini karena setelah pisah ranjang dengan SBY, JK sepertinya kehilangan arah dan dinilai banyak pihak menjadi ragu-ragu untuk maju menjadi presiden. Kesan keraguan ini tidak hanya muncul dari luar partai Golkar sendiri, tetapi dari internal partai pun muncul perbedaan pendapat mengenai pencaloan JK sebagai presiden.Dengan segera meresmikan pasangan calon presiden dan wapres maka JK dan Golkar secara tidaklangsung menepis keraguan tersebut, serta semakin memantapkan positioningnya Lebih Cepat Lebih Baik.Langkah JK ini dirasa cukup strategis dan mengambil momentum yang tepat, mengingat saat ini alasan konstituen untuk memilih kepala daerah, caleg, presiden dan wakil presiden banyak dipengaruhi oleh image atau citra yang dibangun. Sehingga konsistensi dalam membangun citra tersebut diharapkan akan membuahkan hasil yang cukup bagus.

Wednesday, May 13, 2009

Lebih cepat Lebih Baik 2

Minggu ini adalah salah satu minggu terpanas dalam pilpres 2009. Capres saling melemparkan sindiran kepada pesaingnya. JK WIN pasangan yang paling pertama mendeklarasikan pencalonannya kembali berkampanye di tugu Proklamasi dengan menggelar deklarasi resmi mereka. Dengan positioning yang sejak kampanye pileg telah banyak didengungkan, Lebih Cepat Lebih Baik JK WIN konsisten mengimplementasikan positioning ini .
Minggu malam bertempat d puri cikeas kediaman SBY, Partai Demokrat menggelar acara syukuran "kemenangan" partainya dalam pileg 9 April kemarin. Hal yang menarik dari acara tersebut adalah tanggapan SBY terhadap slogan kampanye JK WIN Lebih Cepat Lebih Baik. SBY mengatakan bahwa sesama pesaing dalam Pilpres 09 tidak usah mengklaim dirinya lebih hebat, lebih istimewa, lebih mampu dsb. Ungkapan yang merupakan sebuah sindiran bagi JK WIN. Sementara JK menanggapinya dengan enteng bahwa lebih cepat lebih baik adalah terjemahan dari konsep kopetisi dalam Islam Fastabiqul Khairat, berlomab-lomba dalam kebaikan untuk menjadi yang terbaik dan tercepat. Ya, komentar seorang ketua Dewan Pembina PD ini memang menohok JK.
Namun dalam era politik pencitraan dan demokrasi yang semaikin terbuka, saya rasa pernyataan SBY ini justru sebuah kekeliruan dan blunder dalam rangka memenangkan persaingan Pilpres 09.
Mari kita lihat dari perspektif marketing.
Dari perspektif pemilih, Pileg dan Pilpres adalah sebuah keputusan akhir pembelian oleh konsumen (baca konstituen). dalam memutuskan memilih produk (partai maupun presdien) konsumen pasti melalui tahap-tahap dalam mengkonsumsi produk tersebut, yaitu : pertama konsumen merasa ada kesenjangan antara kebutuhan dengan kenyataan, kedua konsumen akan mencari informasi, ketiga konsumen akan menentukan pembelian/pilihannya dan terkahir akan mengevaluasi produk yang telah dikonsumsinya. Dengan menggunakan framework tersebut, saya rasa JK WIN maupun pasangan Capres dan Cawapres lainnya harus menggunakan strategi pemasaran yang tepat.
JK WIN saya rasa telah menyadari adanya perubahan lanskap demokrasi saat ini, dimana pencitraan sangat penting dan menjadi faktor penentu dalam memenangkan market share. Sehingga mereka mulai menggunakan strategi komunikasi pemasaran yang sepertinya terlihat konsisten.
Degan melihat image SBY saat ini yang kadang dirasa lamban dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan, maka JK WIN mengeluarkan positioning lebih cepat lebih baik. Dimana JK WIN ingin dianggap sebagai pemimpin yang gesit dan tangkas dalam menghadapai dunia yang semakin sulit dipredisksi ini. Positioning ini juga didukung dengan langkah nyata tidak ragu-ragu dalam memilih Cawapres serta mendekalrasikan pencalonannya. Namun juga perlu diingat bahwa positioning ini harus konsisten dibawa samapi seandainya nanti JK Win terpilih, karena konstituen sebagai seorang konsumen setelah memilih akan mengevaluasi produk yang mereka gunakan, jika nantinya evaluasi konstituen tidak seperti yang dijanjikan dalam positioning JK WIN maka akibatnya akan berbahaya bagi produk JK WIN. Karena pada dasarnya Positioning adalah janji sebuah produk kepada konsumen, jangan samapi ketika sudah menjadi Presiden dan Wapres mereka over promising under deliver.
Nah kembali kepada komentar SBY mengenai sindirannya kepada JK tersebut saya rasa tidak perlua dilakukan. Jika SBY juga menyadari bahwa era sekarang adalah era politik pencitraan dan era marketing communication. Saya pikir kampanye SBY dalam pileg sudah cukup konsisten dan bercita rasa yang sama dimanapun lokasi dan kapan pun waktunya. Ini merupakan sebuah upaya yang cukup baik untuk membangun citra.
Untuk bersaing ke depan seharusnya SBY segera mengambil langkah-langkah untuk "menandingi" JK WIN, karena selama ini dianggap ragu-ragu dan lambat dalam mengambil keputusan, maka SBY seharusnya bersikap tegas dan segera mendeklarasikan Cawapresnya. Selain itu SBY juga perlu membangun komunikasi pemasran yang berbasis pada keberhasilan pemerintahan, citra positif SBY dan kebersahajaan Demokrat. Karena pada dasarnya lebih cepat lebih baik hanyalah sebuah positioning yang merupakan janji JK WIN kepada konstituen, kompetitor tidak perlu memathakan positioning tersebut secara langsung nemaun dengan cara membangun komunikasi pemasaran yang baik, sehingga konsumen (baca konstituen) akan menentukan pilihan berdasarkan pada kualitas produk bukan hanya sejedar janji.

Friday, January 23, 2009

Iklan Partai Golkar, Beda!

Sudah baca Kompas hari ini di halaman 25? Anda pasti sedikit tersenyum dengan sebuah iklan parpol yang berbeda dari iklan parpol lainnya. Jika selama ini iklan parpol lebih berbicara pada keberhasilan kadernya yang duduk di pemerintahan, dan membawa nama-nama besar kader mereka, iklan partai Golkar yang satu ini cukup unik.
Iklan ucapan selamat ulang tahun kepada dua orang “rival” politik Golkar sepertinya tidak jamak. Namun bila dicermati lebih jauh ada beberapa hal yang saya rasa cerdas dilakukan oleh Golkar dengan melakukan kampanye seperti ini :
Partai Golkar memanfaatkan momentum tanggal 23 Januari – yang sama dengan nomor urut Partai Golkar- untuk meningkatkan awareness nomor partai mereka. Dan ini cukup efektif karena sangat relevant dan kontekstual.
Dengan memberikan ucapan selamat kepada Megawati Soekarnoputri, sepertinya partai Golkar sedang menjajagi kemungkinan untuk menjadikan salah satu kadernya menjadi Cawapres Megawati , yang memang sudah menjadi kompetensi kader Golkar untuk selalu menjadi Cawapres. Hal ini karena kader-kader Golkar sepertinya masih terkesan malu-malu untuk maju menjadi Capres, dan Golkar sudah memiliki positioning yang kuat sebagai partai kandidat Cawapres. Dengan menggandeng Megawati diharpkan pasangan Capres dan Cawapres dari koalisi kedua partai ini memenuhi ambang batas pemilih, sehingga kemungkinan terpilih menduduki kursi legislative semakin besar.
Dengan menempatkan Mbak Tutut sebagai salah satu “target” dari strategi komunikasinya, sepertinya Golkar juga melirik PKP sebagai salah satu target koalisi. Partai ini dilirik oleh Golkar kaena dianggap punya nilai lebih – walau mungkin hanya nilai history,dimana PKP adalah partai yang mengusung platform merindukan romantisme masa kejayaan Soeharto- dimana Soreharto adalah salah satu tokoh yang membesarkan Golkar. Atau jika dilihat dari perspektif negatifnya sepertinya Golkar ingin “mengajak kembali” Tutut berpulang ke pangkuan Gokar. Karena wanita yang selalu tampil di publik dengan jilbabnya ini dirasa masih mempunyai basis masa, yaitu orang-orang yang setia terhadap keluarga besar Soeharto atau orang-orang yang memang merindukan romantisme zaman Soeharto. Namun bisa juga ucapan ulang tahun ini juga merupakan sindiran politik kepada mantan kader utamanya yang membelot tersebut, kaena nama besar Tutut tidak bisa terlepas dari Golkar.
Content dan Context komunikasi yang sangat berbeda dengan iklan politik lainnya , merupakan sebuah diferensiasi komunikasi tersendiri bagi Golkar. Dengan adanya diferensiasi dari cara berkomunikasi ini Partai Golkar berharap berharap menjadi word of mouth. Apalagi dengan adanya kekuatan social media, diharapkan efek kampanye konvensionalnya di Kompas menjadi lebih besar di social media, karena bisa jadi menjadi topic diskusi yang hangat di Blog, Facebook atau millist.

Dari paparan di atas, masih ada sedikit cataatn lain yang mungkin bisa menambah efek komunikasi lebih dasyat, yaitu jika seandainya iklan partai Gokar tersebut juga ditempatkan di halaman 23. bukan di halaman 25.

Wednesday, January 07, 2009

Gudeg Cita Rasa Push Email : Bagaimana Blackberry Berkembang Begitu Pesat?

“Mas, aku durung isoh install Facebook neng Blackberry ku ki? Trus wingi pas aku neng Ambarukmo Plaza wis iso di nggo Internetan nganggo Wi Fi” (Mas, aku kok belum bisa install Facebook di Blakcberryku ya? Terus kemarin pas aku di Ambarukmo Plaza aku sudah bisa Internetan pake Wi Fi)

Percakapan ini tidak dilakukan oleh 2 orang mahasiswa S2 di Jogja yang sedang mendiskusikan gadget baru yang mereka miliki. Obrolan ini antara mbak-mbak yang sedang melayani sepiring gudeg yang saya pesan di Warung Gudeg Yu Jum di Jalan Wijilan Yogyakarta dengan salah satu temannya. Saya yang pada saat itu sedang menunggu pesanan gudeg saya menjadi berpandangan dan tersenyum simpul dengan salah satu rekan yang ada di depan saya. Bukannya apa-apa tetapi fenomena Facebook dan Blackberry telah benar-benar menyebar ke seluruh penjuru tanah air.
Ya Blackberry saat ini menjadi gadget paling populer dan pemakainya tidak lagi didominasi oleh kalangan bisnis yang super sibuk, orang rumahan pun banyak yang menggunakan Blackberry. Menurut Teguh Prasetya dari Indosat pemakai Blackberry mengalami pertumbuhan 250 % selama tahun 2008 dan saat ini total pemakai Blackberry adalah 16 juta orang (detiknet.com), sebuah angka yang sangat fantastis. Padahal Blackberry baru diluncurkan pada tahun 1999.
Mengapa Blackberry menjadi pesat pertumbuhannya? Manusia di era new wave berbeda dengan manusia sebelumnya. Jika manusia “lama” cenderung tertutup, berinteraksi secukupnya dengan manusia lainnya secara langsung, maka manusia baru di era new wave menjadi orang yang diam dalam keramaian dunia maya. Manusia baru ini sangat penging ngomong, sangat pingin didengerin, sangat ingin “eksis” (meminjam istilah salah satu temen saya yang setiap hari bisa mengucapkan kata ini lebih dari 100 kali), sangat ingin berinteraksi dengan mudah, namun sifat individualisnya semakin besar. Ya, manusia baru ini sangat unik dan membutuhkan media yang mampu menjembatani keinginan dan kebutuhan mereka. Kebutuhan manusia baru ini bisa dipenuhi oleh Blackberry yang memberikan fasilitas “ramai dalam sepi” (nongkrong di café, saling diam tidak kenal, tapi ngobrol lewat chatting atau berinteraksi melalui Face book dengan teman atau kerabat di luar kota). Karena Blackberry memberikan fasilitas kepada penggunanya untuk berinteraksi melalui social media (facebook, friendster, flickr, etc) dengan sangat mudah dan “handy”. Selain handy, semua kebutuhan komunikasi manusia baru liannya juga tersedia melalui Blackberry, SMS, Telpon, Chatting, Browsing, Email, sehingga tidak memerlukan gadget lainnya.
Inilah salah satu rahasia Blackberry yang menemukan “G-spot” kebutuhan interaksi manusia, sehingga penggunanya benar-benar mengalami ejakulasi. Walaupun masih ada beberapa kekurangan seperti belum tersedianya jaringan 3G.